Manusia Puisi : Umbu Landu Paranggi

image source : trudonahu.blogspot.com

“Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan..... –Melodia-“



“....Pulanglah ke desa

Membangun esok hari

Kembali ke huma berhati”

-Apa ada angin di Jakarta-




Itu adalah dua buah puisi petikan dari karya Umbu yang saya senang mendengarnya. Puisi Apa ada angin di Jakarta, sempat saya dengar dinyanyikan oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan Novia Kolopaking. Apa Ada Angin di Jakarta, puisi Umbu sebagai protes halus terhadap pemerintahan Soeharto saat ia membuat protes anti korupsi di Yogyakarta. Sebagai yang membaca bagi saya puisi ini adalah sebuah dzikir, mengingat apa yang seringkali manusia lupakan.

Setiap hari selalu ada kelahiran, kelahiran adalah sebuah anugerah bagi ibu. Karena dengannya ia telah membuahkan karya, karya yang akan ia asuh menjadi sosok yang akan hidup. Sehingga menuju hal tersebut, doa-doa dilangitkan berupa syukur dan harapan. Manusia lahir dengan cara yang sama, tapi dengan garis tangan yang berbeda-beda. Manusia hidup untuk berkarya, sehingga saat pulang ia tidak malu dan sia-sia. Di dunia mereka hidup menjadi apa saja yang mereka temukan saat mulai tumbuh. Dan salah satunya adalah menjadi manusia seperti Umbu Landu Paranggi yang mendapatkan gelar manusia puisi. Ia lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943.

Anak lahir tidak hanya dari ibu, ia pun lahir dari seorang lelaki yang memiliki nama Umbu. Datang ke Yogja pada awal 1960-an dan hijrah ke Bali tahun 1975. Ia melahirkan banyak puisi antara lain Apa Ada Angin di Jakarta, Melodia, Doa, Sabana, Cakrawala itu Kembali Menggoda, dll.

Umbu membidani lahirnya para sastrawan Indonesia angkatan 80 dan angkatan 2000. Angkatan 80 seperti Suminto A. Sayuti, Emha Ainun Nadjib, Atas Danusubroto, Iman Budhi Santosa, Linus Suryadi Ag, Korrie Layun Rampan, RS Rudhatan, Eka Ardhana, Arwan, Miska, Munief, Jihad, Parno Adhy, Mustofa W Hasyim, dll. Dan angkatan 2000 yaitu Oka Rusmini, Wayan Sunarta, Tan Lioe Le, dll.

Atas Danusubroto memiliki kesan bahwa Umbu adalah guru yang pemalu dan berwibawa. Banyak diam di depan umum tapi ketika berbicara sangat kaya akan perbendaharaan kata. Bahkan Wayan Jengki Sunarta menuliskan sebuah cerpen yang berjudul Lelaki Tua dan Kresek. Dalam cerpen ia menggambarkan Umbu sebagaimana yang selalu diceritakan orang-orang bahwa kemanapun Umbu pergi ia selalu menenteng tas kresek warna hitam yang berisi kertas puisi. Lelaki yang selalu menggunakan tas kresek kemana-mana. Cerita tersebut menggambarkan rasa kepenasaranan segerombolan anak muda terhadap isi dari kresek tersebut, karena ia selalu membuat orang-orang penasaran dengan lelaki berwajah melankolis dan bersih itu. Lelaki itu bernama Randu, ia selalu menghabiskan waktunya dengan ngobrol dengan tukang delman, pedagang pinggir jalan atau mengelus-elus kudanya. Ia juga lebih memahami perasaan kuda daripada kusirnya. Karena kusir hanya memaksa kuda untuk bekerja siang malam. Meskipun ia tidak terlalu berani menyampaikan perasaan kuda itu kepada kusir-kusirnya. Karena ia tahu kuda dan kusir sama-sama menderitanya. Dalam cerpen ini terlihat betapa Umbu hidup dalam keadaan yang sangat religius. Dengan kebijaksanaan memandang suatu hal, dengan kedekatannya kepada orang-orang kecil dan cara puisi hidup dalam dirinya. Kalau saya berkesempatan bertemu dengan pria macam itu, mungkin dalam peran anak-anak muda itu saya juga bakal ikut-ikutan menguntit lelaki itu.

[caption id="" align="alignleft" width="295"] image source : inshomniyah.com[/caption]

Ada negeri bebas, yang tidak membatasi ruang gerak kita, tempat aku bisa menciptakan alam lain tanpa merasa menyaingi-Nya. Yang dalam puisi ini Sapardi Djoko Damono menafsirkannya sebagai keputusan Umbu untuk pergi ke negeri puisi. Di dalam dadanya Umbu membuat sebuah negeri puisi. Puisi yang hanya akan ada ketika ia dikeluarkan dengan cara dituliskan. Dan ia menggunakan Pelopor Yogya untuk menuliskan puisinya.

Dibawah Persada Studi Klub (PSK) umbu menggoda anak-anak muda untuk menggali alam mereka. Karena Umbu yakin anak muda itu juga memiliki puisi di dalam dadanya yang menunggu untuk ditulis. Umbu dan segerombolan anak muda itu bernaung di kamar sempit tepi Malioboro, tempat mereka berdiskusi di sepanjang jalan Malioboro. Seperti yang diungkapkan oleh RS Rudhatan, adakalanya PSK berdiskusi di depan Hotel Garuda, depan Kodim Lama, depan Beringharjo sampai kawasan Monumen Satu Maret depan Kantor Pos atau Shopping Center.

Di tangan Umbu PSK lahir, di Yogya pada 5 Maret 1969 bersama rekan Umbu yaitu Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Ipan Sugiyanto Sugito, Suparno S. Adhy, Iman Budhi Santosa, dan Mugiyono Gito Santoso. Dan didukung oleh beberapa pemuda yang mulai aktif mengarang.

Jika pernah membaca buku kumpulan Emha Ainun Nadjib yang berjudul Markesot Bertutur dan Markesot Bertutur Lagi nampaknya PSK tergambar dalam tuturan tulisan dalam buku tersebut. Dimana tokoh Markesot ini sepertinya menggambarkan diri Umbu, meskipun ia kadangkala digambarkan seperti Emha sendiri. Atau mungkin Kiai Sudrun itu yang Emha gambarkan sebagai Umbu?



Cara Umbu Mengajar

Cara umbu membagikan ruh puisinya adalah dengan jalan membiarkan penyair muda mencari jati dirinya. Umbu hanya menunjukan jalan, membiarkan mereka mencari dirinya dan memerdekakan pemikiran dan jiwa sehingga yang terbentuk adalah kejujuran yang keluar dari pikiran dan jiwa, maka terbentuklah sebuah karya yang jujur dan tidak dibuat-buat. Dengan demikian, penyair akan menemukan jalan mereka masing-masing dan mengekspresikan karyanya dengan cara mereka sendiri. Umbu seperti menyajikan seribu jalan bagi para penyair, dan mereka bebas memilih jalan mereka sendiri.

Faisal Ismail menuturkan bahwa Umbu mengajar dengan cara mengajak para penyair untuk berkontemplasi kreatif dan menangkap momen-momen impulsif sebagai rangsangan penciptaan puisi. Menghayati situasi puitik pantai, depan Hotel Garuda, atau pinggir jalan dengan lalu lalang kendaraan.

Cak Nun menyebut gurunya ini sebagai manusia puisi, ketika dia menyatakan dirinya sebagai manusia esei. Kehidupan Umbu adalah kehidupan puisi. Sepanjang waktu hidupnya adalah puisi. Karena kehidupan puisi adalah kehidupan rohani, yang bebas dari harta benda dan ikatan popularitas. Begitulah ulasan Nuryana Asmadi SA saat kedua Guru (Umbu) dan murid (Emha) bertemu.

Murid-muridnya yang lain seperti Mustofa W Hasyim mengatakan juga bahwa umbu adalah guru yang tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai guru. Ia adalah guru kehidupan bagi Mustofa, mulai dari tulisan, obrolan dan diamnya Umbu memiliki nilai pendidikan. Ia seperti pohon kelapa yang dari sisi mana saja bisa diambil manfaatnya. Mustofa mengingat pesan Umbu “Menulis itu harus jujur”, jadi proses kreatif menulis harus apa adanya, ada fakta, pengalaman, dan tidak boleh dicampuri manipulasi. Seperti yang semula dikatakan Umbu bahwa penulis itu harus merdeka dari segala kekangan. Kejujuran berasal dari kemerdekaan berfikir. Karena memang benar, berbohong itu bukan sebuah kemerdekaan. Dimanapun kita berada berbohong akan selalu menemukan bebannya sendiri.

Ia juga dianggap memiliki idealisme kesenimanan yang berbeda dari seniman-seniman lainnya, idealisme yang penuh misteri dan dorongan yang besar terhadap berkesenian dan sastra. Idealisme yang terbaca dari puisi-puisinya yang diterapkan dalam kehidupannya.

Mengutip ungkapan Korrie Layun Rampan bahwa cara umbu merangsang kreatifitas anak muda adalah dengan cara ia memberikan suntikan motivasi agar terpacu untuk berbuat. Dan dengan membakar jiwa mereka agar lebih intensif menemukan medan kreatif baru. Dan diberi wadah berupa media untuk mengapresiasi karya-karya mereka.

Lagi-lagi orang-orang seperti ini selalu mengatakan “proses itu lebih penting ketimbang hasil.” Umbu mengatakan demikian, demikian juga kata ini sering saya temukan, utamanya sering dikatakan Iwan Fals dalam lagunya. Emha juga seringkali mengatakan demikian dengan kata lain ia berujar “gembalakanlah setiap proses.”

Pada akhirnya Umbu mengharapkan agar penyair yang selalu berbincang dengannya bisa menemukan dirinya, dan membebaskan dirinya. Selain itu dia juga memberikan saran agar sastra tumbuh tidak hanya berhenti pada kata-kata saja, melainkan menjadi kehidupan itu sendiri.

Begitulah ulasan majalah Sabana mengenai Umbu yang masih terasa kurang untuk menjelaskan seorang penyair yang memiliki nama yang gagah ini. Terasa kurang karena tidak ada tulisan Umbu selain puisi-puisinya. Karena setiap dari setiap alur tulisan, ternyata yang saya tunggu bukan hanya ulasan dari muridnya, tapi perkataan otentik dari Umbu sendiri. Saya selalu membayangkan kalau saya bisa duduk minum kopi bersamanya berbincang sampai pagi. Atau menemukan buku yang ternyata ditulis menjadi sebuah essai olehnya. Sehingga saya pun bisa merasakan ruh Umbu, karena hanya beberapa puisi yang bisa saya bisa tafsirkan sendiri. Puisi itu bagi saya sendiri kadang tidak mudah dipahami.

Intinya adalah konsistensi dalam hal apapun yang manusia cari. Umbu berada dalam tahap disiplin dalam berkarya yang saya baca disini. Ia memiliki kesetiaan terhadap apa yang dicintainya, sehingga melahirkan keadaan yang harmonis menjadi ruh dan perilaku. Sehingga saat ia berbagi pun, orang-orang yang dekat dengannya akan merasakan apa yang ada dalam dirinya.



Sumber: majalah Sabana edisi 6 , Umbu Landu Paranggi Sang Guru



Load disqus comments

0 komentar

Iklan Bawah Artikel