INTELEKTUALITAS DI BAWAH POHON RINDANG

]
image source : uinsgd.ac.id

Di kampus saya ada istilah DPR, Dibawah Pohon Rindang. Beringin besar yang sangat rindang dengan daun dan akar yang merambat menjulur ke bawah. Entah sudah berapa lama pohon itu menjadi saksi orang-orang yang belajar di kampusku. Selain itu, ini semacam fasilitas alam, pohon rindang itu selalu menjadi
tempat yang nyaman untuk mahasiswa melakakuan berbagai macam kegiatan. Tapi sekarang, entah tinggal berapa lagi pohon yang masih berdiri kokoh disana. Karena pembangunan yang baru-baru ini dilakukan pihak kampus menuntut memperluas area dan membantai pohon-pohon rindang di sekitar kampus.

Di sana seringkali keluar gagasan-gagasan yang tidak sederhana. Materi yang tidak biasa, dan udara yang luar biasa segar daripada tempat lain di sekitaran kampus. Manusia-manusia berambut gondrong yang paling sering menghuni pohon rindang disana. Manusia berambut gondrong bukan apa-apa, mereka adalah mahasiswa dari beberapa jurusan di kampus. Tapi, kalau jurusannya jurusan Pendidikan (Tarbiyah) pasti akan jarang sekali ditemukan.

Tempat rimbun dan kalau malalm sangat menyramkan itu bisa disulap oleh mahasiswanya. Ia bisa berubah menjadi tempat yang sangat artistik, atau tempat unyu dengan berbagai ornamen warna-warni menghiasinya. Si Pohon rindang itu bisa sangat ramah dan sangat menyeramkan bagaimana mahasiswanya memperlakukannya.

[caption id="" align="alignnone" width="582"] image source : suakaonline.com[/caption]

Ketika pohon rindang bergoyang-goyang. Ia seperti sedang menari bersama anak-anak pemusik yang sering main disana. Akarnya yang menjuntai ke tanah, seperti lelaki tua sakti yang memiliki beribu cara untuk menjawab beribu pertanyaan. Kadang juga si pohon rindang ini seperti lelaki tua yang sedang mengasuh cucu-cucunya, lelaki tua yang tidak pernah mati yang punya cucu banyak.

Diskusi di bawah pohon rindang ternyata merupakan budaya desa. Dr. Sylvia Tiwon dalam epilog buku Toto Raharjo berjudul Sekolah Biasa saja mengatakan bahwa budaya desa ketika rapat umumnya berlangsung di tempat terbuka, pendopo tanpa tembok, atau di bawah pohon rindang.

Kita harus ingat juga bahwa dalam penuturan klasik, kisah pencerahan sering di kaitkan dengan pohon, seperti pohon bodi dimana Budha Gautama mendapatkan pencerahan. Pohon Gingko yang menaungi Confuscius, dan juga dalam berbagai penutran lokal di berbagai tempat di Indonesia, pohon dan pencerahan bergandengan, misalnya pohon lontar/ rontal, yang daunnya menjadi bahan utama untuk menulis pengetahuan.

Yang unik juga dari pohon rindang adalah dimana presiden RI pertama kita, Soekarno merenungkan teks pancasila. Beliau merenung di bawah pohon sukun, dan menghasilkan lima teks pancasila yang kita kenal sekarang.

Orang-orang yang memilih pohon rindang sebagai tempat untuk diskusi bukan orang-orang biasa. Mereka adalah orang yang memperlakukan ilmu agar bisa membumi. Mereka adalah orang-orang ajaib yang Tuhan kirimkan ketika hujan turun dengan lebat.

Sebatas ini saja dulu postingannya. Selamat pagi J



Load disqus comments

0 komentar

Iklan Bawah Artikel