Pasung Jiwa





"Orang yang tak waras adalah orang yang sepenuhnya memiliki dirinya. Ia tak akan mau mengikuti apa yang dikatakan orang lain. Ia tak akan pernah sekadar ikut-ikutan hanya agar dianggap normal. Orang yang punya kewarasan adalah orang-orang yang sepenuhnya punya kesadaran. Ia akan menolak dan melawan."

Membaca novel ini membuatku merinding betapa hebatnya mba Okki Madasari menggambarkan sosok Sasana yang sedang mengalami depresi. Perasaan sakit yang dirasakan Sasana benar-benar terasa olehku sebagai pembaca. Ketakutan, kecemasan, dan hal-hal lain yang oleh orang luar yang tidak merasakannya tersampaikan dengan jelas. 

Sasana adalah seorang anak yang mengalami berbagai macam hal sejak ia masih kecil. Fikirannya sudah bergerak kesana kemari sejak ia kecil. Mulai dari tubuhnya, orang tua, teman sekolah, hingga hal menyakitkan saat ia tumbuh dewasa. 

Sasana kecil sudah merasakan bahwa ia tidak pernah menyukai apa yang orangtuanya tuntun padanya. Orang tua Sasana selalu menyuruhnya main piano hingga ia bosan hingga ia tak punya rasa apapun saat memainkannya. Ia merasa terkekang dengan keinginan orangtuanya.

Hingga pada akhirnya dia menemukan sesuatu hal yang baru dan menarik hatinya, yaitu dangdut. Tubuh dan fikirannya memilih dangdut sebagai hal yang membuatnya menemukan diri sendiri. Kebahagiaan, kebebasan dan hal yang selama ini ia cari. Tubuhnya bergoyang dengan bebas mengikuti irama dangdut yang mengalun, irama baru yang membuatnya terbuai dan menyenangkan.

Dangdut tumbuh dalam diri Sasana hingga ia mendapatkan nama panggung Sasa. Sasa menjadi biduan dengan goyangan yang membuat semua orang memfokuskan pandangan matan padanya. Dengan beragam pandangan dan teriakan yang membuatnya semakin bersemangat untuk bergoyang. 

Kutang merah dan sepatu tinggi berwarna merah memberikan semangat dan kebanggaan tersendiri buatnya. Lipstik dan olesan bedak tipis di mukanya, adalah hal yang sudah lama ia dambakan. Ia bisa merasakan kecantikan dan kelembutan pada dirinya seperti halnya Melati, adik perempuan yang membuat ia selalu iri dengan penampilan dan kecantikannya. Melalui Sasa, ia menemukan dirinya yang seutuhnya. 

Hidup sebagai Sasa tidak lantas membuat orang menghormati keberadaannya. Kutang merah yang ia kenakan, membuat orang yang melihatnya tergoda untuk meremas dada kekarnya. Bahkan tentara yang menangkapnya menjadikan ia mangsa empuk untuk nafsu biadab mereka. Memandangnya bukan sebagai manusia utuh, membuatnya masuk ke dalam tempat yang memenjarakan tubuhnya dan memanggilnya dengan sebutan bencong.

To be continued...
Load disqus comments

0 komentar

Iklan Bawah Artikel