MARYAM : Suara Kaum Minoritas



Beberapa bulan terakhir, dunia sedang dirundung duka. Dimana sebuah virus baru mengganggu keberadaan manusia. Virus tersebut bernama virus covid-19. Mari kita berdoa bersama, semoga keluarga, sahabat, dan orang-orang yang dekat dengan kita dijauhkan dari penyakit tersebut. Amiiin

Akhir-akhir ini juga terjadi sebuah peristiwa dimana seluruh negara memberlakukan distance relations. Jaga jarak dengan manusia lain agar penyebaran virus bisa dicegah. Sehingga orang banyak menghabiskan waktu di rumah. Salah satunya aku, yang membaca buku Maryam.

Sebenarnya sudah lama ingin menyelesaikan buku Maryam karya Okki Madasari ini. Tetapi ternyata baru selesai kemarin. Dan buku ini memang seseru itu. Membacanya, membuat kita merasakan apa yang sebenar-benarnya kaum Minoritas rasakan.

Di Negaraku, pelabelan pada suatu kaum yang memang tidak merupakan kaum kebanyakan dinyatakan sesat. Penyesatan bahkan dilakukan oleh pemerintah yang notabene seharusnya menjaga rakyatnya. Dan label sesat yang diberikan oleh pemerintah itu, menghancurkan persaudaraan, rasa kepercayaan, dan rasa aman yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia Indonesia.

Keluarga Maryam adalah keluarga yang menganut Ahmadiyah sejak dari kakek buyut mereka. Tinggal di sebuah desa yang tentram dan damai. Rukun dengan tetangga yang memiliki perbedaan aliran. Mereka tidak mengganggu satu sama lain, bahkan mereka mengadakan pengajian yang berbeda tanpa ada masalah apapun.

Maryam merasakan, menjadi Ahmadiyah sudah menjadi hal yang sulit sejak ia kecil. Seringkali dibeda-bedakan, dan ia merasa ia harus lepas dari label agama sehingga orang tidak akan memandang ia berbeda. Dan itu ia lakukan, sehingga ayahnya murka dan ia kabur ke ibukota menikah dengan seorang lelaki yang bukan Ahmadi.

Kehidupan di ibukota yang tidak pernah memandang perbedaan agama dan aliran, membuatnya sedikit bisa bernafas lega. Bayang-bayang agama yang menjadikan ia sulit bergerak dan dikucilkan kini sudah tidak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.

Tetapi gejolak batin, kerinduan kepada keluarga dan rasa bersalah yang besar membuat Maryam ingin pulang. Dia kembali kepada ibu bapaknya dengan penyesalan yang mendalam. Ia tahu, bahwa ayahnya kesulitan karena mereka terusir dari kampungnya, tidak lain karena Ahmadiyah di cap aliran sesat oleh pemerintah.

Maryam murka, merasa hidup mereka tidak mendapatkan keadilan yang semestinya. Tanah yang ditempati mereka adalah tanah yang perjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata ayahnya dan kakeknya dulu. Kini mereka harus pergi dan terusir karena agama mereka dianggap sesat.

Pengusiran kedua terjadi setelah mereka mendapatkan pemukiman yang nyaman, hasil dari patungan dengan warga Ahmadiyah lain. Rumah mereka dibakar, orang-orang yang merasa tidak sesat melempar batu tanpa ragu. Hingga akhirnya, orang yang sedikit harus kembali menerima kepedihan tinggal di pengungsian. Selama 5 tahun tinggal di sebuah pengungsian yang disediakan oleh pemerintah.

Apakah ada mediasi? tentu saja Maryam dan keluarganya paling lantang menyuarakan apa yang mereka inginkan kepada pemerintah. Tetapi yang terjadi, pemerinta sekitar tidak bisa berbuat apa-apa Mereka merasa bahwa kaum yang banyak adalah yang paling benar. Dan Maryam serta Ahmadiyah yang lain diminta untuk bertaubat agar kembali ke jalan yang menurut kebanyak orang benar.

Baru pertama kali membaca karya Okki Madasari dan novel ini menggambarkan kepedihan kaum minoritas dengan sangat cerdas. Dan suara-suara seperti inilah yang seharusnya banyak diperhitungkan saat membuat kebijakan. Pelabelan pada sebuah agama yang memiliki aliran berbeda, seharusnya diperhitungkan dari sisi keamanan pemeluknya.

Seharusnya kita bisa melihat dari sisi orang yang terusir. Karena dengan terusirnya mereka, maka akan banyak hal yang terputus. Perekonomian sudah jelas, mereka tidak bisa lagi melanjutkan usaha yang sudah mereka rintis dan bangun dari awal. Persaudaraan apalagi, tetangga-tetangga yang pada awalnya tidak masalah dengan kepercayaan mereka, kini menjauh seperti melihat najis. Dan juga, anak-anak yang terusir, yang masa depannya masih sangat panjang harus merasakan pedihnya hidup di negara yang tidak menerima mereka.

Dari novel ini aku setuju bahwa, seharusnya negara tidak begitu campur tangan dengan urusan pribadi masyarakatnya, seperti agama. Biarkanlah agama berada di ranah privat. Karena setiap orang yang memeluk agama tersebut memiliki sejarah panjang yang tidak bisa mereka lepaskan begitu saja.

Pelabelan pada sebuah aliran keagamaan hanya akan membuat mereka menjadi manusia Indonesia yang akan merasa dikecualikan. Hak-hak hidup yang terampas, ternyata tidak semudah yang kita lihat. Mungkin karena kita kaum mayoritas jadi tidak banyak yang bisa kita rasakan dari terusirnya mereka. Tetapi, jika rasa kemanusiaan menyala dalam diri, apakah tega melihat tetangga kita terusir dengan sangat tidak adil di negara tempat mereka lahir?

Pamarican, 18 Maret 2020
Load disqus comments

0 komentar

Iklan Bawah Artikel